Tata Cara Penulisan Toponimi Indonesia



Tata Cara Penulisan Toponimi Indonesia

Nama unsur geografi, atau disingkat “nama geografik” (geographical names) disebut “toponim”. Secara harafiah berarti “nama tempat” (place names). Nama tempat tidak harus diartikan nama pemukiman (nama tempat tinggal), tetapi nama unsur geografi yang ada di suatu tempat (daerah), seperti sungai, bukit, gunung, pulau, tanjung, dsb. Unsur-unsur ini dikenal secara luas sebagai unsur “topografi”.

Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya peta (sehingga berkaitan dengan Kartografi) dalam peradaban manusia yang dimulai pada zaman Mesir kuno. Untuk memberikan keterangan (nama) pada unsur yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk ‘merekam’ dari bahasa verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol. Sejarah mencatat nama-nama Comtey de Volney (1820), Alexander John Ellis (1848), Sir John Herschel (1849) dan Theodore W. Erersky (1913) yang terus berusaha untuk membakukan proses penamaan unsur geografis pada lembar peta melalui berbagai metode. Pada akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC).
Tata cara pembakuan Pemberian nama pada unsur geografis ternyata tidak sesederhana perkiraan banyak orang. Tata cara untuk menstandarisasi dan mengatur penamaan suatu unsur geografis dikaji dan diatur dalam suatu cabang ilmu yang dikenal sebagai Toponimi. Ilmu ini berkaitan erat dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan Kebudayaan.

Pedoman Penulisan Nama Unsur Geografi di Indonesia (Dimodifikasi dari Tulisan Prof. Jacub Rais dalam semiloka di ITB tahun 2005).

Tiap nama unsur geografi di Indonesia terdiri atas dua bagian yaitu nama generik dan nama spesifik. Yang dimaksud dengan nama generik adalah nama yang menggambarkan bentuk dari unsur geografis tersebut, misalnya sungai, gunung, kota dan unsur lainnya. Sedang nama spesifik merupakan nama diri (proper name) dari nama generik tersebut yang juga digunakan sebagai unit pembeda antarunsur geografis. Nama spesifik yang sering digunakan untuk unsur geografis biasanya berasal dari kata sifat, misalnya ’baru’, ’jaya’, ’indah’, ’makmur’ atau kata benda yang bisa mencerminkan bentuk unsur tersebut, misalnya ’batu’, ’candi’ dan lain sebagainya. Nama-nama generik dari unsur geografi, antara lain:

Sungai (bahasa Indonesia) atau air, aik, ai, oi, kali, batang, wai, ci, brang, jeh, nanga, krueung, Ie, (bahasa lokal)
Gunung (bahasa Indonesia) atau dolok, buku, bulu, deleng, keli, wolo,cot, batee (bahasa lokal)
Tanjung (bahasa Indonesia) atau ujung, cuku (bahasa lokal)
Danau (bahasa Indonesia) atau telaga, situ, ranu (bahasa lokal)
Pulau (bahasa Indonesia) atau nusa, mios (meos), pulo, towade, wanua, libuton, lihuto (bahasa lokal)

I. Pedoman pertama:
Dalam menulis nama unsur geografi ditulis terpisah antara nama generik dan nama spesifiknya. Lihat contoh di bawah ini:
Nama generik dan nama spesifik suatu unsur / ciri geografi ditulis secara terpisah:
Sungai Musi; Air Bangis; Krueung Aceh; Ie Mola; Wai Seputih; Batang Hari; Ci Liwung; Danau Toba; Laut Jawa; Selat Sunda; Pulau Nias; Tanjung Cina; Kota Bandung; Gunung Merbabu; Bukit Suharto. Singkatan Nama Generik di peta: Tanjung : Tg.; Pulau: P.; Laut: L.; Selat: Sel.; Wai: W. Sungai: S atau Sei, Ujung: U. Kota, Umumnya generik “Kota” tidak ditulis dan juga tidak disebut karena orang tahu bahwa itu nama kota: “Kota Bandung” atau“Bandung” saja.

II. Pedoman kedua:
Banyak nama spesifik di Indonesia, khususnya nama kota dan pemukiman memuat juga nama generik dalam nama spesifiknya, seperti nama-nama kota memakai gunung, bukit, tanjung, ujung, pulau dst dalam nama spesifiknya. Dalam kasus ini nama spesifik tersebut ditulis dalam satu kata. Contoh di bawah ini:
Gunungsitoli; Cimahi; Ujungpandang; Bukittinggi; Muarajambi; Tanjungpinang; Tanjungpriok; Krueungraya; Sungailiat; Bandarlampung; Airmadidi; Sungaipenuh; Kualasimpang.

Contoh di Jawa Barat ada sungai yang bernama Ci Liwung (harus ditulis dengan 2 kata). Tetapi jika suatu kota (generik) “Ci” dipakai dalam nama spasifik, maka ditulis dengan satu kata (Cimahi, Cibinong, Cikampek). Lihat peta yang dibuat di masa penjajahan Belanda (masih pakai ortografi lama “tj” untuk “c”, “dj” untuk ”j”, “oe” untuk “u”.

III. Pedoman ketiga

Jika suatu nama spesifik ditambah dengan kata sifat di belakangnya atau penunjuk arah, maka ditulis terpisah. Contoh: Jawa Barat; Kebayoran Baru; Sungai Tabalong Kiwa; Kotamubago Selatan; Kampung Desatengah Selatan; Nusa Tenggara Timur; Panyabungan Tonga; Pagarutang Jae (tonga = tengah; jae= utama di kabupaten Tapanuli Selatan); Kemang Utara; Durentiga Selatan.

IV. Pedoman keempat

Jika nama spesifik yang terdiri dari kata berulang, ditulis sebagai satu kata. Misalnya Bagansiapiapi; Siringoringo; Sigiringgiring; Mukomuko. Jika nama spesifik yang ditulis dengan angka sebagai penomoran, maka nomor ditulis dengan huruf, misalnya Depok Satu; Depok Dua; Depok Timur Satu; Koto Ampek. Jika nama spesifik terdiri dari dua kata benda, ditulis sebagai satu kata, misalnya Tanggabosi; Bulupayung; Pagaralam.

V. Pedoman kelima

Nama spesifik terdiri dari kata benda diikuti dengan nama generik, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya: Pintupadang; Pagargunung; Pondoksungai; Kayulaut.

Nama spesifik yang terdiri dari 3 kata, masing-masing 2 nama generik diikuti dengan kata sifat atau kata benda, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya Torlukmuaradolok (torluk = teluk; muara = muara; dolok = gunung); Muarabatangangkola (muara dan batang adalah nama generik; angkola = nama benda).

VI. Pedoman keenam

Banyak contoh nama spesifik terdiri dari 4 kata atau lebih, misalnya beberapa daerah di Tapanuli Selatan: Purbasinombamandalasena; Dalihannataluhutaraja; Hutalosungparandolok Lorong Tiga; Gunungmanaonunterudang. Untuk memudahkan disarankan tidak memakai nama yang panjang.

Banyak nama-nama unsur geografi yang berasal dari nama asing yang terucapkan dengan lidah Indonesia atau diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Indonesia atau diganti dengan nama Indonesia.

Yang berasal dari pengucapan bahasa asing:

Tanjong Priok seharusnya ditulis Tanjungperiuk atau Tanjungpriok (kalau “priok” bahasa Betawi dari “periuk”; Ayer Item seharusnya Air Hitam

Yang berasal dari bahasa asing dengan pengucapan gaya bahasa Indonesia:
Singerland menjadi Sangerlang; Glen More menjadi Glemor; Malborough menjadi Malioboro; Zandvoort menjadi Sanpur, Sampur;

Nama-nama yang sudah resmi diganti
− Batavia menjadi Jakarta (dari Jayakarta)
− Kutaraja menjadi Banda-Aceh (Banda Aceh, Bandaaceh)— perlu Lembaga Bahasa mengkajinya
− Pulau Raja menjadi Pulaurakyat
− Pusaka Ratu menjadi Pusakanegara
− Peperbaai menjadi Teluk Lada
− Hollandia menjadi Sukarnopura kemudian Jayapura
− Wilhelmina Top menjadi Puncak Trikora
− Schilpaddenbaai menjadi Teluk Penyu
− Padangbaai menjadi Padangbai

Kaedah penamaan yang bisa dijadikan acuan adalah:
• Menggunakan abjad Romawi atau huruf Latin
• Mengutamakan nama lokal dan singkat
• Tidak menggunakan nama yang sudah digunakan di tempat lain dalam wilayah yang sama
• Tidak menggunakan nama yang menimbulkan pertentangan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)
• Tidak menggunakan nama orang atau tokoh masyarakat yang masih hidup
• Tidak menggunakan nama perusahaan
• Tidak menggunakan nama asing atau bahasa asing
• Menggunakan kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penulisan nama unsur geografi
• Menggunakan nama yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku secara nasional dan internasional

No comments:

Post a Comment