Surat untuk Papa di Hari Wisuda - I Made Andi Arsana

Surat untuk Papa di Hari Wisuda - I Made Andi Arsana



Artikel berikut ini ditulis oleh sahabat saya Dr. I Made Andi Arsana, tulisan-tulisan beliau sangatlah bagus dan enak untuk dibaca, tulisan asli bisa langsung anda baca di Facebook page beliau di https://www.facebook.com/madeandi

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Surat untuk Papa di Hari Wisuda
Pa, apa kabar hari ini?
Aku menulis surat ini di tangga Grha Sabha Pramana (GSP) yang termasyur itu. Di kepalaku masih ada toga dan gantunganya berjuntai dimainkan angin di dekat wajahku. Aku sudah lulus, Pa. Aku lulus seperti yang Papa syaratkan: cepat dan IP tinggi. Aku tadi ikut berdiri ketika para wisudawan cumlaude dipaggil dan diperkenalkan pada hadirin. Sayang sekali Papa tidak ada di sana.

Semoga tugas Papa di Paris lancar dan berhasil. Aku selalu mendoakan. Mama juga belum pulang karena dari India harus langsung memberi kuliah di Kamboja. Tadi aku ditemani Bulik Parmi. Hanya dia yang ada dan satu kursi lagi kosong karena Dik Bagas ternyata tidak bisa pulang. Dia mendadak membatalkan kepulangannya dari Singapura karena katanya ada tugas tambahan dari dosenya. Aku sendiri hanya ditemani Bulik Parmi.
Tadi aku bertemu Made, kawanku dari Bali. Dia nampak sangat bahagia karena wisuda didampingi kedua orang tuanya. Bu Nyoman, ibunya, adalah perempuan sederhana. Tadi aku lihat dia bersimpuh mencium tangga GSP demi bersyukur anaknya telah wisuda. Untuk bisa datang menghadiri wisuda anaknya, Bu Nyoman mohon izin libur pada bosnya, penjual nasi bungkus Babi Guling di pasar Dauh Pala di Tabanan. Bu Nyoman seorang kuli, tak paripurna pendidikan SD dijalaninya.
Bapaknya, Pak Wayan, berjalan di sampingnya. Dia juga berkaca-kaca matanya ketika Made, temanku, mendapat giliran bersalaman dengan Pak Dekan. Aku lihat mereka berpelukan setelahnya. Pelukan dengan luapan rasa syukur tak terkira. Bagi Bu Nyoman dan Pak Wayan, wisuda adalah barang baru. Barang baru yang bahkan tidak pernah dimimpikannya. Made adalah putra daerah dari keluarga miskin yang masuk UGM dengan beasiswa Bidik Misi. Dia adalah bukti hidup bahwa harapan masih ada bagi mereka yang giat berikhtiar di negeri ini.
Oh ya, Rama juga wisuda hari ini. Papa masih ingat dia? Dia kakak kelasku sebenarnya tetapi baru saat ini bisa wisuda. Dia korban dosen UGM yang super sibuk. Ibu Mutiara, dosennya, adalah langganan kementerian. Waktunya di Jogja hanya dua hari seminggu dan selebihnya ada di Jakarta atau kota lain. Bu Mutiara mungkin tak bisa mengatakan tidak ketika mendapat undangan dari pemerintah. Mahasiswanya menyebutnya dosen narasumber karena lebih sering menjadi narasumber dibandingkn mengajar. Dua tahun skripsi Rama terkatung-katung karena bu dosen tak mudah dijumpai. Konon, bimbingan skripsinya hanya sebentar-sebentar, itupun di ruang tunggu VIP bandara Adi Sucipto. Bu Mutiara hanya punya waktu ‘senggang’ saat menunggu pesawat.
Saat aku menulis ini, aku menyaksikan segerombolan wisudawan dan keluarganya berfoto di tangga GSP. Mereka nampak ceria. Dari penampilannya, mereka sepertinya dari Papua. Batik khas Papua yang dikenakan ayahnya juga menegaskan itu. Masih seperti dulu, seperti yang Papa selalu ceritakan padaku, UGM serupa panci tempat meleburnya berbagai bahan berbagai bumbu membentuk satu masakan. UGM masih seperti itu Pa. Aku kira, wisudawan yang ceria itu mirip Yohanes temanku dari Maluku. Dia masuk UGM tanpa tes karena berprestasi di SMA-nya dulu. Tadi dia duduk tidak jauh dariku, dia juga berdiri saat wisudawan cumlaude dipanggil.
Pa, aku baru saja menerima email dari Prof. Rizos di UNSW, Sydney. Dia menerimaku menjadi muridnya. Persis seperti yang Papa pesankan pada dia. Dia juga menjamin aku dapat beasiswa IPRS langsung S3. Dia bilang, aku ga perlu S2 karena nilaiku setara dengan First Class Honor. Dia kirim salam untuk Papa. Dia berkelakar, telah melihat Papa pada diriku dan itu membuatku tidak nyaman. Apa benar aku diterima karena kemampuanku, atau karena Papa temannya? Aku kadang ragu.
Aku belum memutuskan mengambil kesempatan itu. Aku ingat mama. Mama pasti tidak bangga aku bisa bersekolah di UNSW. Aku selalu ingat kata-kata Mama “mama ingin satu dari anak mama bisa mengikuti jejak mama wisuda di Oxford atau Harvard!” Aku mungkin tidak akan ambil kesempatan di UNSW. Aku takut mama kecewa. Pa, apa aku bisa masuk Oxford atau Harvard?
Oh ya, Papa masih ingat Yuliana, kakak kelasku yang kadang belajar di rumah? Dia sudah wisuda awal tahun ini. Sekarang dia mendapat beasiswa LPDP, sebentar lagi akan ke Groningen Belanda. Dia senang sekali. Dia akan jadi generasi pertama di keluarganya yang belajar di luar negeri. Senyumnya selalu mengembang tak bisa disembunyikan. Aku senang dia mencapai apa yang dia cita-citakan dari dulu.
Pa, apa aku kerja dulu saja ya? Aku iri sama Genjo, kawanku. Dia sudah kerja sebelum wisuda. Tadi aku lihat ibunya memeluknya setelah wisuda dan mengantarnya ke Stasiun Tugu. Genjo harus berangkat ke Jakarta hari ini karena minggu depan sudah harus training. Genjo senang bukan kepalang, saat dinyatakan diterima bekerja di sebuah perusahan tambang lokal. Dia cerita, selama training digaji tiga juta. Matanya berbinar-binar. Genjo bahkan belum pernah memegang uang satu juta. Seperti Made, dia belajar di UGM dengan Bidik Misi sehingga tidak pernah membayar SPP. Uang saku 600 ribu setiap bulan sebagian dikirim ke kampung untuk ibunya yang sudah lama janda. Mendapat gaji tiga juta, Gendo seperti bersayap dan merasa bisa terbang. Genjo sangat beruntung.
Aku ingin kerja seperti Genjo tapi masih bingung. Om Iwan kemarin telepon aku. Di perusahaannya perlu programmer. Dia meminta aku masuk ke sana. Katanya gaji awal 11 juta karena aku dianggap sudah berpengalaman. Aku ambil nggak ya Pa? Aku ragu kareana selalu ingat Om Wisnu. Pasti Om Wisnu menertawakanku dengan gaji segitu. Dia selalu bilang, waktu fresh graduate dulu, dia dibayar 2000 dolar. Papa lihat kan di WA grup keluarga, Om Wisnu selalu bilang “kalau ditawari gaji di bawah 2500 dolar sebulan, jangan diambil.” Aku gak akan tahan menghadapi buly di grup WA keluarga kita. Aku sepertinya tidak akan ambil tawaran Om Iwan.
Pa, aku tidak pernah segalau ini dalam hidupku. Setiap kali melangkah, aku selalu ingat Papa yang telah menceramahi orang-orang di Gedung PBB di New York. Aku selalu ingat Mama yang tidak pernah bisa menerima universitas lain kecuali Oxford dan Harvard. Aku ingat Om Wisnu yang tidak pernah bisa menerima gaji di bawah 2500 dolar. Aku ingat Dik Bagas yang bahkan tidak tahu caranya belajar tapi tidak pernah rangking dua dalam hidupnya. Aku dikelilingi kehebatan Pa. itu semua membuatku khawatir. Apakah aku bisa seperti kalian? Apa yang harus aku lakukan?
Pa, aku masih duduk di tangga GSP. Orang kian sedikit jumlahnya. Mereka beranjak pergi untuk merayakan keberhasilan. Sementara ku masih di sini. Aku tidak pulang karena tidak ada seorangpun yang bisa diajak berbicara. Tadipun aku merasa sepi dalam keramaian.
Atau mungkin aku sebaiknya mengikuti jejak Nurul, sahabatku. Dia telah mantap mengajukan lamaran. Dia tidak melamar di manapun, tidak mencoba di manapun kecuali satu itu. Dia bilang dia mau bertualang ke tempat-tempat terpencil di Indonesia. Dia ingin mengajar. Aku ingin seperti dia, Pa. Kali ini aku mohon Papa mengabulkan permintaanku. Aku ingin melihat Indonesia dari tepi Danau Toba atau lereng Gunung Rinjani atau tepian Sungai Mahakam. Aku ingin melihat Indonesia dari pinggiran hutan di pedalaman Papua. Aku ingin melihat puncak Monas dari Teluk Tomini. Aku ingin mencium rumput basah di Istana Merdeka dari Sabana di Flores. Aku ingin mengagumi julangan Indonesia yang tinggi sambil duduk di gelayut akar pohon ratusan tahun usianya di pedalaman Kalimantan.
Aku ingin bergabung dengan Indonesia Mengajar, menjadi Pengajar Muda. Aku mohon restu Papa.
Yogyakarta, 23 Agustus 2017
Alif

No comments:

Post a Comment